Cerpenku
Daftar Masuk

Asli

Aria

Calibri

Georgia

Tt Ukuran Tulisan
Tampilan membaca

Jangan ganggu! Hari yang baru bukanlah hal yang bisa dinikmati oleh Ana. Ia masih harus menangani pasien hari ini. Entah berapa banyak pasien yang akan ia tangani hari ini. Ia hanya menginginkan sedikit waktu untuk tidur, sebentar saja. Sebagai dokter koas, sudah dua hari ini dia mendapat waktu jaga malam. Ia harus tetap terjaga, sangat ceroboh jika ia tertidur sebentar saja. Ana terus menangani pasien sepanjang malam. "An," "An, Ana, bangun!" Seseorang menggoyangkan bahu Ana. Sang pemilik bahu pun terkejut dan segera bangun. Ana tertidur diatas catatan pasiennya. "Ah sial!" Batin Ana. "Kenapa Rad? Oh btw makasih nih udah ngebangunin." Ucap Ana pada temannya seraya mengucek mata. "Gak niat mau ngebangunin sih tadi, tapi yah sama-sama deh. Gue mau ngajakin lo ke cafe, minum kopi aja sambil ngemil dikit." "Tapi kan ini masih pagi, i mean yang jaga pagi kayaknya belum dat-," "Udah tenang. Mereka udah datang kok sebagian, tenang aja. Lagian lo gak kasian apa sama badan lo? Gue aja kasian. Ayolah ayo!" Teman Ana yang bernama Radi itu pun menarik paksa Ana untuk bangkit dan membawanya ke sebuah cafe yang

berada tepat di sebelah rumah sakit. "Gila lo ah, Rad! Belum buka ini mah." Ana dan Radi menatap nanar cafe yang belum buka itu. Wajar saja, ini masih pukul 8 pagi. Mungkin sang pemilik sedang berada diperjalanan. "Biasanya 24 jam An. Tumbenan tutup." Balas Radi sambil berjalan mendekati pintu Cafe untuk mengintip. "Halo Ibu dan Bapak Dokter, biar saya buka dulu ya cafenya." Seorang pemuda datang sambil tersenyum. Ia kemudian berjalan mendekati pintu, Radi pun berjalan mundur kembali ke sebelah Ana. "Siapa Rad? Bukannya yang punya Bapak-bapak ya? Karyawannya juga perempuan deh perasaan." Bisik Ana tapi sepertinya dapat didengar oleh pemuda itu. "Perkenalkan saya Andre. Anak dari pemilik cafe ini yang baru menyelesaikan kuliah di Amerika dan baru saja mendapatkan sertifikat dari sekolah barista ternama di Amerika sebagai Barista handal." Ana dan Radi saling menatap. Apa-apaan dia ini, pikir mereka. Dengan begitu canggung Ana pun ikut memperkenalkan dirinya juga. "Saya Ana, saya Dokter muda alias Dokter koas yang bekerja di rumah sakit sebelah." Andre tersenyum dan menjabat paksa tangan Ana. "Saya Radi, saya juga Dok-,"

"Tidak usah basa-basi langsung saja masuk, saya tau kalian tidak sabaran untuk mencicipi kopi buatan saya." Radi menganga. Ia tidak pernah diabaikan seperti ini, terlebih lagi dengan orang yang baru dikenal. Ana kemudian menepuk-nepuk bahu Radi dan berjalan duluan untuk masuk ke dalam cafe bertema klasik itu. Andre kemudian menghampiri Ana dan Radi dengan lembaran menu. "Mau minum apa mbak Dokter manis dan bapak Dokter yang biasa aja?" Andre berkata sambil melirik dengan tatapan meremehkan ke arah Radi. Radi menggertak. Tatapannya pada Andre semakin mematikan. Ia benar-benar kesal. "Emm, anu Mas Andre, anda emang orangnya kaya gini ya?" "Kaya gini bagaimana mbak Dokter manis? Saya ganteng? Oh iya jelas. Beda jauh sama yang di kiri mbak." "Eh maksud lo apa nih? Kita baru kenal, tolong jaga sikap dong. Udah main ngatain orang aja lo!" Tak tahan lagi, Radi pun membentak Andre. "Loh, kenapa mas dokter marah? Memangnya saya ada mengatakan hal yang salah?" "Lo barusan ngatain gue beda jauh sama lo kan? Jelas kalo lo itu ngatain gue secara gak langsung."

"Memangnya ada yang salah dengan perkataan saya yang itu? Yah,kan mas memang beda jauh sama saya. Beda jauh, maksud saya kegantengannya mas diatas saya. Apa jangan-jangan mas ngerasa jelek?" "Udah, udah stop. Kita pesen Americano dua shoot satu, sama Latte satu." Ana segera menengahi perselisihan itu. Jika dibiarkan mungkin akan semakin memburuk. "Oke mbak dokter. Tunggu sebentar ya.." Andre kemudian pergi meninggalkan Ana dan Radi. Radi menatap kesal punggung si Barista itu. Entah apa maksud Andre berlaku seperti itu kepada Radi. Yang jelas, Radi benar-benar tidak suka dengan Andre. "Rad, jangan dipikirin banget. Mungkin emang orangnya kaya gitu. Bawa santai ya." Ana berusaha menenangkan Radi yang masih terbakar amarah. "Iya An. Habis ini kita langsung pulang." Ana mengangguk. Mengiyakan permintaan Radi. Iya juga ingin segera rebahan diatas kasur tercintanya. Tak lama, Andre muncul dengan membawa pesanan Ana dan Radi. Radi membuang muka, benar-benar jengkel melihatnya lagi. "Ini pesanan buat mbak Dokter manis dan Bapak Dokter yang GANTENG." Andre menekan perkataan terakhirnya. Radi menatap sinis, ia berusaha menahan diri. Radi yang tidak terbiasa

untuk menahan emosinya kini merasakan sensasi untuk menjadi orang yang tenang dan sabar. "Sabar Rad, dia gila. Jangan lo peduliin." Batin Radi berkali-kali. Ana memberikan Latte yang telah dipesan kepada Radi. Kemudian tersenyum ke arah Andre agar dia segera menyingkir kembali ke asalnya. Mungkin Andre tidak tahu maksud Ana, ia tetap berdiri diposisinya sembari memperhatikan Ana yang meneguk Americano pesanannya. Ana yang merasa diperhatikan benar-benar merasa tak nyaman. Sesekali ia menatap Andre dan kembali tersenyum, begitu pula Andre. Radi yang merasakan ketidaknyamanan Ana mulai bertindak. Ia meletakkan Lattenya. "Heh, kenapa masih disini? Lo gak ada kerjaan apa? Malah ngeliatin orang minum. Lo gak liat temen gue ngerasa gak nyaman disini karena lo?!" Ana mendelik. Ia kaget bukan main mendengar ucapan Radi. Bagaimana bisa Radi secara terang-terangan mengatakan itu. "Biasa aja kali. Yang punya mata kan bukan cuma Bapak Dokter aja, saya juga punya. Oh iya, mbak Dokter manis jangan merasa gak nyaman gitu dong, saya jadi gak enak nih." "Ah iya, it's okay. Tapi mungkin lebih baik kalau

kamu lakuin pekerjaan kamu. Kayanya kamu banyak pekerjaan." "Mbak Dokter manis perhatian banget sama saya, kalau besok kita pergi makan malam bareng mau gak mbak Dokter?" "Bocah gila! Maunya lo apa sih?!" Bentak Radi kesal. Lagi-lagi Andre mengatakan hal yang tidak jelas. Menyulut amarah Radi. "Kenapa? Bapak Dokter sama mbak Dokter manis cuma teman kan? Jadi gak masalahkan kalo saya suka sama mbak Dokter manis?" Nada bicara Andre meninggi. Tidak lagi berkata halus menusuk seperti sebelumnya. "Dia pacar gue. Lo jangan ngelunjak deh ya, gue udah sabar banget dari tadi. Mending bawa bill kita ke sini!" Ana menggertak kesal. Radi tersenyum penuh kepuasan walau perkataan Ana hanya sebatas omongan belaka. Radi dan Ana hanya teman dekat sedari kecil. Ana sudah menganggap Radi sebagai saudaranya, begitu pula dengan Radi. Andre kemudian memberikan bill pesanan mereka dengan kasar kepada Ana. Raut wajahnya berubah. Tidak ada lagi senyuman yang ia tebar seperti tadi. Setelah membayar, Ana dan Radi segara beranjak pergi. Namun, tiba-tiba Andre

menarik tangan Ana. "Ana, Dokter Ana… Apa Dokter gak mau sama saya? Saya kurang apa? Saya berpendidikan tinggi, saya kaya, saya punya mobil bagus, saya bisa belikan semua hal yang Dokter Ana mau.. Dokter jadi pacar saya ya?" Ana bergidik ngeri. Orang ini benar-benar gila! "Kesambet apa gue mau sama orang kaya lo? Heh, dengerin baik-baik ya… Gue bukan mata duitan. Jangan sama-samain gue sama perempuan matre di luaran sana. Bisa gila gue kalo jadi pacar lo!" Radi menahan tawa, Ana benar-benar tidak terduga. Rasanya baru kemarin ia melihat Ana yang memanggil-manggilnya untuk bermain petak umpet bersama. Sekarang ia sudah menjadi perempuan yang berani. "Lo keren banget An tadi." Puji Radi pada Ana ditengah perjalanan mereka untuk kembali ke Rumah sakit sebelum pulang ke rumah. "Gue gak tahan aja. Uang itu penting, tapi bukan segalanya. Mentang-mentang dia kaya, bisa ngomong gitu ke gue? Enggak deh, gue gak bakal kemakan bullshitnya dia." "Bangga deh punya teman pintar gini.

Nanti malam makan ke mall, yuk? Gue traktir." Radi tersenyum sambil mengacak-acak rambut Ana. "Ah Rad, gue belum mandi tau. Jangan bikin penampilan gue makin gak jelas. Tapi beneran ya nanti lo traktir?" "Iya, nanti gue traktir." Sepanjang perjalanan mereka sibuk tertawa sambil membahas rencana mereka untuk makan malam bersama nanti sebelum kembali mengabdi menolong pasien. Mereka harap mereka dapat terus punya sepotong kenangan aneh lagi seperti tadi. Hidup memang tidak terduga.